Local Economy Development (LED) atau yang dikenal dengan istilah Indonesia Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL), merupakan salah satu prinsip manajemen kota dengan mengembangkan ekonomi di suatu wilayah berdasarkan potensi dan kemampuan lokal. Kemampuan lokal yang dimaksud meliputi Sumber Daya Manusia, Sumber Daya Alam, dan Institusi Lokal. Seluruh elemen di atas bisa dijadikan sebagai alat untuk meningkatkan taraf ekonomi masyarakat di perkotaan, terlebih lagi jika pemerintah juga ikut memfasilitasinya.
Persoalan kontemporer dan paling fundamental dari pembangunan di Indonesia dalam kerangka pemberdayaan adalah bagaimana mengangkat kekuatan ekonomi lokal sebagai basis perekonomian nasional. Persoalan tersebut berkaitan dengan dua pertanyaan pokok, yaitu pertama, bagaimana peran dan kontribusi perekonomian lokal terhadap perekonomian nasional selama ini, dan kedua, bagaimana melakukan upaya optimalisasi atas peran dan kontribusi tersebut. Termasuk dalam konteks ini adalah bagaimana mengelola potensi-potensi yang ada dan dimiliki oleh masyarakat seperti yang telah disebutkan di atas, yakni sumber daya alam, sumber daya manusia, teknologi, kemampuan kelembagaan (capacity of institutions) maupun aset pengalaman (Haeruman, 2001).
Kenyataannya sekarang, pemerintah seringkali mengabaikan potensi ekonomi lokal yang ada dalam proses pembangunan. Oleh karenanya dibutuhkan suatu cara untuk menghilangkan pandangan bahwa potensi ekonomi lokal sesuatu yang terkesan dimarjinalkan. Upaya semacam itulah yang selama ini dikemas dalam paket “pemberdayaan”. Namun dari pengalaman yang telah lalu menunjukkan sangat sedikitnya porsi pemberdayaan dalam lingkup pembangunan.
Di tahun kemarin, 2010, jarang sekali kita dengar tentang pengembangan ekonomi di kota-kota kita yang melibatkan peran masyarakat setempat. Yang lebih sering sampai di telinga kita justru berita tentang kerugian-kerugian yang dialami sebagaian BUMN, atau penambahan sumber pembiayaan pembangunan yang berasal dari pinjaman luar negeri. Sungguh miris jika kita melihat fenomena sepert itu padahal potensi yang dimiliki oleh bangsa ini sangatlah melimpah. Tinggal bagaimana kita mengolahnya menjadi sesuatu yang memiliki nilai tambah, yang kemudian hasilnya dapat dimanfaatkan untuk kemaslahatan orang banyak. LED sebagai salah satu skema yang ada di bawah payung “pemberdayaan” tersebut agaknya bisa menjadi jawaban atas persoalan yang ada.
Lalu kapan kita bisa memulai penerapan LED di kota-kota Indonesia? Kalau dipikir-pikir lagi, tahun 2010 kemarin kita relatif masih jarang mendapati jalannya pembangunan dengan menerapkan skema LED secara intensif. Apakah masih mungkin bagi kita untuk mengusung tema yang berbau glokalisasi tersebut di tahun 2011 ini?
Jawabannya tentu saja: bisa. Masih ingat kan motto yang sering dipasang di dinding kelas sewaktu SMP atau SMA dulu: there is a will, there is a way. Yang artinya kurang lebih seperti ini: ada niat pasti ada jalan. Tema pembangunan yang senada dengan gambaran di atas sangat mungkin kita usung di tahun yang baru ini, karena walaupun di masa lampau penerapan LED masih setengah-setengah namun hal itu sudah cukup sebagai embrionya. Dengan tekad yang bulat dan sedikit optimisme serta dukungan semua stakeholder saya yakin LED bisa digunakan sebagai instrumen peningkatan perekonomian masyarakat di perkotaan di indonesia. Kita bisa memanfaatkan momentum tahun baru ini dengan sedikit mengubah paradigma, dari peran potensi lokal yang masih dipandang sebelah mata menjadi sesuatu yang “wah” dan layak untuk diaplikasikan.
Sebagai contoh penerapan LED ini adalah diberdayakannya masyarakat kelurahan sukomanunggal, Kecamatan Sukomanunggal, Surabaya sebagai pengrajin tempe. Gambaran penerapan LED di sana adalah sebagai berikut*:
– Para pengerajin tempe tersebut berada dalam satu lokasi, yang merupakan sebagian besar warga asli RT.03 RW.02.
– Jumlah pengerajin dalam lokasi tersebut terdiri dari 30 pengerajin tempe yang melingkupi pengerajin tempe olahan dan tempe mentah.
– Usaha produksi tempe ini telah ada sejak dahulu.
– Kedelai dipasok dari berbagai tempat karena belum adanya paguyuban.
– Pemasaran dijual di pasar tradisional seperti pasar Simo, pasar Tembok, pasar Banyu Urip dan lain sebagainya.
– Pemasarannya sendiri dilakukan oleh para pengerajin tempe.
– Produksi rata-rata perhari mencapai 50 Kg kedelai, dengan harga kedelai perkilo Rp.5.750,-.
– Omset penjualan tempe perhari rata-rata Rp.400.00-Rp.500.000.
– Untuk satu cetakan tempe memuat 5 kg kedelai.
– Tempe produksi Sukomanunggal terdiri dari 3 jenis yaitu tempe murni, tempe campuran nasi aking dan tempe campuran singkong.
– Pengerajin tempe di daerah Sukomanunggal belum pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah kota Surabaya maupun dari pihak lainnya.
– Kendala yang dihadapi oleh pengerajin tempe Sukomanunggal sebagian belum memiliki alat penggiling kedelai dan pemotong kripik.
– Bantuan yang dibutuhkan antara lain mesin pemotong tempe untuk pengolahan kripik tempe serta alat penggiling dan pelatihan mengenai pengolahan tempe.
*Gambaran tersebut merupakan hasil survey terhadap kegiatan lokal yang ada di Surabaya pada tahun 2009 oleh Pemkot Surabaya - Badan Perencanaan Pembangunan Bidang Ekonomi
Gambar pengrajin yang mengolah kedelai menjadi tempeGambar kondisi lingkungan lokasi pengrajin tempe di Sukomanunggal Gg. 1
Dengan melihat gambaran di atas bisa disimpulkan bahwa sebenarnya masyarakat kita memiliki potensi yang dapat dikembangkan dalam rangka memperbaiki tingkat kesejahteraannya sebagai warga kota. Hanya saja selama ini masih belum ada yang mengakomodasi kepentingan mereka sepenuhnya. Pemerintah sepertinya masih memandang potensi lokal ini sebagai sesuatu yang tidak membutuhkan uluran bantuan, karena dianggap sudah bisa bangkit dengan sendirinya. Sementara pihak swasta enggan dalam menginvestasikan dana karena dianggap kurang profitable. Padahal para pelaku usaha kelas menengah ke bawah yang sedang “menggeliat” tersebut sangat membutuhkan bantuan terutama kucuran modal.
Pemerintah, menurut saya, adalah pihak yang sangat berperan dalam skema ini yaitu sebagai pihak pemberi bantuan modal, atau paling tidak sebagai fasilitator yang dapat menjembatani kepentingan masyarakat dan swasta. Caranya dengan mengemas kegiatan lokal tersebut dengan Branding kemudian ditawarkan kepada pihak swasta. Dengan begitu masyarakat akan terbantu sehingga kegiatan mereka bisa berkembang dan terjadi peningkatan ekonomi. Pemerintah secara tidak langsung juga telah mengupayakan penambahan lapangan pekerjaan dan pengurangan kemiskinan di kota. Untuk pihak swasta, dengan berkembangnya kegiatan masyarakat otomatis output, omset dan profit yang diperoleh akan tampak lebih menjanjikan. Sehingga pada akhirnya LED ini dapat dijadikan sebagai salah satu mekanisme dalam upaya meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat yang hidup di perkotaan.
Sumber: (masih dalam tahap refinding)
Status artikel: SUSPENDED